Sabtu, 01 Februari 2025
Wahyu 3: 14-17
“Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: …. Aku akan memuntahkan engkau dari mulutku. Karena engkau berkata, ‘Aku kaya; dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang.’”
SAAT ITU ADALAH MALAM YANG DINGIN di Michigan. Kunjungan sosial dengan teman-teman baik saya. Saya sedang berbagi apa yang ada dalam pikiran saya—rumah baru kami, pembelian-pembelian yang terbaru, kapal pesiar impian ketika Peter dengan lembut bertanya, “Donna, apa yang akan kamu lakukan dengan rasa banggamu?”
Persahabatan dengan Peter menahan saya untuk tidak langsung marah dan membantah. Sebaliknya, Saya melihat bukan hanya kobaran api di tungku perapian, namun juga lautan api—tempat Laodikia akan berakhir.
Dalam hati saya menangis selama 10 bulan berikutnya. Itu membawa “obat mata” yang membantu saya melihat kondisi saya yang menyedihkan. Ya, saya membawa Alkitab ke gereja dan secara teratur memimpin Sekolah Sabat Beginner dan departemen sosial.
Vegetarian dan persepuluhan sudah tertanam dalam struktur DNA saya. Tetapi saya tidak memiliki hati untuk orang-orang yang hilang melainkan hanya untuk diri saya sendiri!
Perjalanan saya dari kekristenan yang suam-suam kuku dan membosankan menjadi penuh semangat bagi Tuhan dimulai ketika saya memohon kepada Tuhan untuk memberi saya apa pun yang saya perlukan agar saya dapat memiliki waktu selama 15 menit untuk perenungan pribadi di pagi hari. Karena pikiran saya begitu lesu secara rohani, saya tahu saya tidak dapat melakukannya sendiri.
Dimulai dari kitab Kejadian, saya menemukan bahwa Tuhan yang begitu luar biasa yang menciptakan alam semesta ini dapat menciptakan ulang diri saya. Saya terkagum-kagum dengan perjalanan Abraham, hal-hal bodoh yang dia lakukan, hanya untuk menyadari bahwa Tuhan telah memanggil kita masing-masing untuk melakukan perjalanan serupa menuju kepada kepercayaan yang sepenuhnya. Saya menggelengkan kepala saat menyadari bahwa ada Bangsa Israel yang tidak ingin meninggalkan perbudakan Mesir—hanya untuk menyadari bahwa saya juga memiliki perasaan yang sama dalam hal meninggalkan pola hidup yang nyaman.
Ketika saya menyadari kondisi saya; pertempuran rohani semakin intensif. Semakin Tuhan membuka mata saya, semakin jelas saya melihat lblis dengan strategi dan rencananya untuk hidup saya, namun juga semakin kuat tarikan kepada saya untuk kembali ke Mesir—bermain tenis di klub, berbelanja, serta kepuasan instan.
Di Getsemani samar-samar saya mendengar suara-Nya, ”Berjaga-jagalah dan berdoalah,” dan saya mulai berdoa sepanjang hari dan berjalan melalui Bait Suci di padang belantara. Prioritas saya mulai berubah.
Hari ini saya menyadari bahwa Laodikia bukanlah tempat yang hanya untuk dikunjungi. Itu adalah sebuah tempat di dalam hati, hati yang dirantai oleh diri sendiri. Saya memuji Tuhan atas perjalanan saya menuju kesehatan rohani, dan hati yang baru yang berdetak untuk orang-orang yang terhilang!